AL-FANA, AL-BAQA, AL-ITTIHAD, dan HULUL
MAKALAH
Disusun Guana Memenuhi Tugas :
Mata Kuliah : Akhlak Tasawuf
Dosen
Pengampu : Bpk. Zaenuri,
M.Ag

Oleh :
Fauziyah 122411199
Khoirun
Ni’am 122411200
Zumrotul
Hasanah 122411194
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Dikalangan sufi, Abu Yazid al-Bustami adalah orang
pertama yang mencetuskan konsep al-fana’, al-baqa’ dan Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj) adalah tokoh
yang mengembangkan faham al-hulul. Karena untuk memasuki alam tasawuf
yang disebut dengan ittihad harus terlebih dahulu melewati tangga itu. Selama
belum dapat mencapai itu, maka tidak akan bisa menyatu dengan Tuhan. Konsep
fana’ merupakan tahapan awal yang berarti meleburkan diri. Kalau seorang sufi
ingin mencapai tingkat ittihad, maka tahapan al-fana’ ini merupakan bagian yang
tidak dapat ditinggalkan oleh seorang Sufi. Segolongan penganut tasawuf
menyebutkanm bahwa tujuan utama yang menjadi inti ajaran tasawuf adalahs ampai
pada zat al-Haqq dan bahkan bersatu dengan Tuhan. Jadi, semua aktifitas ketasawufan langsung
atau tidak langsung pasti berkaitan dengan penghayatan fana’ dan ma’rifat pada
zat Allah. Jadi ma’rifat itu bukan tanggapan atau pengalaman kejiwaan, yakni
suatu tanggapan atau pengalaman kejiwaan sewaktu mengalami fana’. Dengan
sampainya seseorang sufi ketingkat ma’rifat, ia pada hakikatnya telah dekat
benar dengan Tuhan, sehingga akhirnya ia bersatu dengan Tuhan yang disebut
dengan istilah ittihad. Tetapi sebelum seroang sufi bersatu dengan Tuhan, ia
harus terlebih dahulu menghancurkan dirinya, dalam tasawuf disebut dengan
istilah fana’.
B.
Rumusan Masalah
1.
Pengertian Al-Fana, Al-Baqa, Al-Ittihad, dan Hulul
2.
Tokoh yang mngembangkan Al-Fana
3.
Tokoh yang mengembangkan Hulul
4. Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dalam pandangan Al-Qur’an
II.
PEMBAHASAN
1.
Pengertian Al-Fana, Al-Baqa, Al-Ittihad, dan Hulul
Dari segi bahasa al-fana berarti hilangnya wujud
sesuatu. Fana berbeda dengan fasad (rusak). Fana artinya tidak
tampaknya sesuatu, sedangkan fasad adalah berubahnya sesuatu menjadi sesuatu
yang lain.[1]
Adapun arti fana menurut kalangan sufi adalah
hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri seseorang. Menurut pandangan lain, fana adalah bergantinya
sifat-sifat kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat berarti pula
hilangnya sifat-sifat yang tercela.[2]
Mustafa Zuhri mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fana
adalah lenyapnya inderawi, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada
syahwat dan hawa nafsu. [3]
Sebagai akibat dari fana adalah baqa.
Secara harfiah baqa berarti kekal. Menurut para sufi, baqa adalah
kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat tuhan dalam diri manusia. Karena
lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang kekal adalah sifat-sifat ilahiah.
Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang beriringan, sebagaimana dinyatakan
oleh ahli tasawuf :
اِذَا اَشْرَقَ نُوْرُالْبَقَاءِ
فَيَفْنَى مَنْ لَمْ يَكُنْ وَيَبْقَى مَنْ لَمْ يَزُلْ
apabila tampaklah nur
kebaqaan, maka fanalah yang tiada, dan baqalah yan kekal”.
التَّصَوَّفُ فَانُوْنَ عَنْ
اَنْفُسِهِمْ قَاقُوْنَ بِرَبِّهِمْ بِحُضُوْرِ قُلُوْبِهِمْ مَعَ اللّهِ
Tasawuf itu ialah mereka
fana dari dirinya dan baqa dengan Tuhannya, karena kehadiran hati mereka
bersama Allah.
Fana yang dicari oleh seorang sufi ialah penghancuran
diri ( Al-Fana ‘An Al-Nafs ), yaitu hancurnya perasaan atau kesadaran
tentang adanya tubuh kasar manusia.
Berbicara mengenai fana dan baqa maka erat hubungannya
dengan Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan Tuhan,
karena tujuan dari fana dan baqa adalah Ittihad. [4]
Mustafa Zuhri mengatakan bahwa fana dan baqa tidak dapat dipisahkan dengan
Ittihad. Dalam ajaran Ittihad sebagai salah satu metode tasawuf. Sebagaimana
yang dikatakan oleh Al-Baidlowi, yang dilihat hanya satu wujud. Karena yang
dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud, maka dalam ittihad ini bisa
terjadi pertukaran peranan antara yang mencintai (manusia) dengan yang
mencintai (Tuhan).[5]
Dalam situasi Ittihad yang semacam itu , seorang sufi telah merasa dirinya
bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai
telah menjadi satu.
Hulul secara harfiah berarti Tuhan mengambil
tempat dalam tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan
sifat-sifat kemanusiaannya melalui fana.[6]
Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam Al-Luma’ yang dikutip Harun Nasution,
Hulul adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh
manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusian
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Paham bahwa Allah dapat mengambil tempat pada diri
manusia bertolak dari dasar pemikiran Al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri
manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut
(kemanusiaan). [7]
Dengan demikian maka manusia memiliki sifat ketuhanan
dalam dirinya. Hal ini di fahami dari ayat yang berbunyi :
øÎ)ur $oYù=è%
Ïps3Í´¯»n=uKù=Ï9 (#rßàfó$#
tPyKy (#ÿrßyf|¡sù HwÎ) }§Î=ö/Î)
4n1r& uy9õ3tFó$#ur tb%x.ur
z`ÏB úïÍÏÿ»s3ø9$# ÇÌÍÈ
34. dan (ingatlah) ketika Kami berfirman
kepada Para Malaikat: "Sujudlah kamu kepada Adam," Maka sujudlah
mereka kecuali Iblis; ia enggan dan takabur dan adalah ia Termasuk golongan
orang-orang yang kafir.
Menurut
Al-Hallaj, bahwa Allah memberi perintah kepada malaikat agar bersujud kepada
Nabi Adam, karena pada diri Adam Allah menjelma. Sebagaimana telah di isyaratkan
yang berbunyi :
اِنَّ
اللّهَ خَلَقَ ادَمَ عَلَى صُوْرَتِهِ
Tuhan menciptakan Adam sesuai dengan Bentuknya.
Dengan
melihat ayat dan hadits tersebut Hallaj berkesimpulan bahwa dalam diri manusia
terdapat sifat ketuhanan (lahut) dan pada Tuhan juga terdapat sifat kemanusiaan
(nasut). Jika sifat ketuhanan yang terdapat pada diri manusia bersatu dengan sifat kemanusiaan yang
terdapat pada diri Tuhan maka terjadilah hulul. Untuk sampai ke tahap seperti
ini manusia harus terlebih dahulu menghilangkan sifat-sifat kemanusiaannya
melalui proses Al-Fana.
Berdasarkan
uraian diatas maka Hulul dapat dikatakan sebagai suatu tahap dimana manusia dan
Tuhan bersatu secara rohaniah. Tujuan dari hulul adalah mencapai persatuan
secara batin.[8]
Hamka mengatakan bahwa hulul adalah ketuhanan ( lahut) menjelma kedalam diri
insan (nasut), dan hal ini terjadi pada saat kebatinan seorang insan telah suci
bersih dalam menempuh jalan hidup kebatinan.[9]
2. Tokoh yang mengembangkan Al-Fana
Dalam
sejarah tasawuf, abu yazid al-bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama
kali memperkenalkan faham fana dan baqa.[10]
Ketika abu yazid telah fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluar
kata-kata yang ganjil, yang jika tidak hati-hati memahami akan menimbulkan kesan seolah-olah
Abu yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal sesuangguhnya ia tetap
manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin bersatu dengan Tuhan. Diantara
ucapannya ganjil yang keluar dari dirinya, misalnya : Tidak ada Tuhan,
melainkan saya. Sembahlah saya, amat sucilah saya, alangkah besarnya kuasaku.
Selanjutnya Abu yazid juga pernah mengatakan,
لاَاِلهَ
اِلاَّ اَنَافَاعْبُدُوْنِيْ
Tidak ada Tuhan selain Aku, maka sembahlah Aku
سُبْحَانِيْ
, سُبْحَانِيْ , مَا اَعْظَمُ شَأْنِيْ
Maha Suci Aku, Maha Suci Aku, Maha Besar Aku. [11]
Ucapan yang keluar dari mulut Abu
Yazid itu bukanlah kata-katanya sendiri tetapi kata-kata itu diucapkannya
melalui diri Tuhan dalam Ittihad yang dicapainya dengan Tuhan. Dengan demikian
Abu Yazid tidak mengaku dirinya sebagi Tuhan.
Bagi
orang yang bersikap toleran, Ittihad dipandang sebagai penyelewengan, tetapi
bagi orang yang keras berpegang pada agama, itu dipandang sebagai kekufuran.[12]
3. Tokoh yang mengembangkan Hulul
Sebagaimana
telah disinggung diatas bahwa yang mengembangkan paham Al-Hulul adalah
Al-Hallaj (Husein Bin Mansyur Al-Hallaj). Ia diharirkan di negeri Baidha pada tahun 244 H (858 M),
kemudian tinggal sampai dewasa di Wasith.
Al-Hallaj
akhirnya terbunuh karena dianggap telah menyebarkan faham yang menyimpang dari
para ulama fikih dan pemerintah pada saat itu. Dalam Faham Hulul yang
dikemukakan oleh Al-Hallaj tersebut terdapat dua hal yang penting, yakni
pertama, bahwa paham al-hulul merupakan pengembangn atau bentuk lain dari dari
pham mahabbah. Kedua, al-hulul juga menggambarkan adanya Ittihad atau kesatuan
rohani dengan Tuhan. [13]
4. Al-Fana, Al-Baqa, dan Ittihad dalam pandangan
Al-Qur’an
Paham
fana dan baqa yang ditujukan untuk mencapai Ittihad dipandang oleh sufi sebagai
untuk dapat berjumpa dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT :
(... `yJsù
tb%x.
(#qã_öt
uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/
ÿ¾ÏmÎn/u
#Jtnr&
ÇÊÊÉÈ
Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya". (QS. Al-Kahfi : 110)
Paham
Ittihad ini juga dapat dipahami dari keadaan ketika Nabi Musa ingin melihat
Allah. Musa berkata : “ ya Tuhan, bagaimana supaya aku sampai pada-Mu?” Tuhan
berfirman : Tinggalkanlah dirimu baru kamu kemari (bersatu).
Ayat dan
riwayat tersebut memberikan petunjuk bahwa Allah SWT. Telah memberi peluang
kepada manusia untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang
caranya antara lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena
Allah, menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk, menghilangkan kesadaran
sebagai manusia, meningalkan perbuatan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias
diri dengan sifat-sifat Allah. Yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana
dan baqa. Konsep fana dan baqa dapat di pahami dalam ayat sebagai berikut :
@ä. ô`tB $pkön=tæ
5b$sù
ÇËÏÈ 4s+ö7tur çmô_ur y7În/u
rè
È@»n=pgø:$#
ÏQ#tø.M}$#ur
ÇËÐÈ
26. semua yang ada di bumi itu akan binasa.
27. dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran
dan kemuliaan. (QS. Al-Rahman : 26-27)[14]
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
pembahasan diatas maka dapat kita simpulkan bahwa yang dimaksud dengan Al-fana
adalah hilangnya kesadaran pribadi dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazim digunakan pada
diri seseorang. Fana juga dapat diartikan sebagai bergantinya sifat-sifat
kemanusian dengan sifat-sifat ketuhanan. Dan dapat berarti pula hilangnya sifat-sifat
yang tercela.
baqa adalah kekalnya sifat-sifat terpuji, dan sifat-sifat
tuhan dalam diri manusia. Karena lenyapnya (fana) sifat basyariah, maka yang
kekal adalah sifat-sifat ilahiah. Dalam istilah tasawuf, fana dan baqa datang
beriringan.
Al-Ittihad, yaitu penyatuan batin atau rohaniah dengan
Tuhan. Tujuan dari Al-Fana dan Al-Baqa adalah Ittihad.
paham yang mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh
manusia-manusia tertentu untuk mengambil tempat didalamnya setelah kemanusian
yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan.
Dalam sejarah tasawuf, abu yazid
al-bustami disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali memperkenalkan faham
fana dan baqa. Ketika abu yazid telah
fana dan mencapai baqa maka dari mulutnya keluar kata-kata yang ganjil, yang
jika tidak hati-hati memahami akan
menimbulkan kesan seolah-olah Abu yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal
sesuangguhnya ia tetap manusia, yaitu manusia yang mengalami pengalaman batin
bersatu dengan Tuhan.
Al-Hallaj
(Husein Bin Mansyur Al-Hallaj) adalah tokoh yang mengembangkan Hulul. Ia
dilahirkan di negeri Baidha pada tahun
244 H (858 M), kemudian tinggal sampai dewasa di Wasith. Al-Hallaj akhirnya
terbunuh karena dianggap telah menyebarkan faham yang menyimpang dari para
ulama fikih dan pemerintah pada saat itu.
Dalam
Alqur’an yaitu QS. Al-Kahfi : 110 memberikan petunjuk bahwa Allah SWT. Telah memberi peluang kepada manusia
untuk bersatu dengan Tuhan secara rohaniah atau batiniah, yang caranya antara
lain dengan beramal shaleh, dan beribadat semata-mata karena Allah,
menghilangkan sifat-sifat dan akhlak buruk, menghilangkan kesadaran sebagai
manusia, meningalkan perbuatan dosa dan maksiat, dan kemudian menghias diri
dengan sifat-sifat Allah. Yang kesemuanya ini tercakup dalam konsep fana dan
baqa yang diterangkan dalam QS. Al-Rahman : 26-27.
B. Kritik dan saran
Demikian
makalah yang dapat kami susun, kami menyadari masih banyak kekurangan dalam
makalah ini, baik dalam penulisan, penguraian, maupun yang lainnya. Oleh karena
itu penyusun sangat terbuka atas kritik dan saran dari pembaca guna perbaikan
penyusunan berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nata, Abuddin, Akhlak
Tasawuf, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012.
Shaliba, Jamil,
Mu’jam Al-Falsafy, Jilid II, Beirut : Dar Al-Kitab, 1979.
Zuhri, Mustafa, Kunci
Memahami Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Imu, 1985.
Nasution, Harun,
Filasafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983.
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan Pemurniaannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984.
[1]
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf,
Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012, h. 231
[2]
Jamil Shaliba, Mu’jam Al-Falsafy,
Jilid II, Beirut : Dar Al-Kitab, 1979, h. 167.
[3]
Mustafa Zuhri, Kunci Memahami
Ilmu Tasawuf, Surabaya : Bina Imu, 1985, h. 234
[4]
Abuddin, Akhlak..., h.
233-234
[5]
Mustafa, Kunci..., h. 236
[6]
Abuddin, Akhlak..., h. 239
[7]
Harun Nasution, Filasafat dan
Mistisisme dalam Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1983, h.88
[8]
Abuddin, Akhlak..., h. 241
[9]
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan
Pemurniaannya, Jakarta : Pustaka Panjimas, 1984, h 120
[10]
Hamka, Tasawuf..., h. 102
[11]
Nasution, Falsafah..., h.86
[12]
Abuddin, Akhlak..., h.237
[13]
Abuddin, Akhlak..., h.
242-244
[14]
Abuddin, Akhlak..., h.
237-238
Tidak ada komentar:
Posting Komentar