MAKALAH
KERAJAAN-KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA
SEBELUM PENJAJAHAN BELANDA
Disusun Guna Memenuhi Tugas:
Mata Kuliah : Sejarah
Peradaban Islam
Dosen Pengampu : Supangat, M.Ag

Disusun Oleh:
Fauziyah 122411199
Khoirun Ni’am 122411200
FAKULTAS EKONOMI & BISNIS ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG
2014
I.
PENDAHULUAN
Salah satu bukti masuknya
islam di nusantara yaitu dengan adanya kerajaan-kerajaan islam yang telah
berdiri, salah satunya yaitu kerajaan pertama di sumatera, kerajaan perlak.
Islam masuk di
perlak sekitar tahun 800 M, dan kurang dari setengah abad, para da’i dan
penyebebar agama islam yang lain berhasil menyebarkan agama islam di daerah
tersebut, dan akhirnya mendirikan kerajaan islam perlak pada tahun 840 M dengan
menunjuk syed maulana abdul azis shah sebagai raja pertamanya.
Seiring
berjalannya waktu, kerajaan islam di nusantara semakin meluas, mulai dari jawa,
kalimantan, sulawesi dan maluku, yang kemudian dengan banyaknya
kerajaan-kerajaan islam tersebut menjadikan hubungan baik antara umat islam dan
kerajaan islam di nusantara.
II.
RUMUSAN MASALAH
1.
Kerajaan Islam pertama di Sumatera.
2.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa, kalimantan, maluku dan
sulawesi.
3.
Hubungan politik dan keagamaan antara
kerajaan-kerajaan Islam.
III.
PEMBAHASAN
1.
Kerajaan islam pertama di sumatera
v
Kerajaan perlak
Marco Polo dalam perjalanannya dari china menuju
persia di tahun 1292 telah mengunjungi kerajaan di wilayah sumatera. Ia
menganggap bahwa kerajaan yang telah memeluk agama islam adalah kerajaan
“Ferlec” yang biasa di kenal dengan sebutan perlak.[1]
Nama perlak
berawal dari banyaknya tumbuhan yang bernama “kayei peureulak” (kayu perlak),
dimana kayu tersebut sangat baik untuk bahan pembuatan kapal/perahu, sehingga
banyak dicari dan di beli oleh perusahaan-perusahaan pembuat kapal/perahu.
Karena banyak orang-orang dari luar yang membeli “kayei peureulak” maka daerah
tersebut telah menjadi sebutan dimana-mana, baik di sumatera maupun di luar
sumatera, yang pada akhirnya mereka menyebut daerah tersebut sebagai negeri
perlak.
Para pengembara
dan pedagang yang datang dari cina, arab, persia, hindi, italia, portugis, dan
lain-lainnya melalui selat malaka dan singgah di daerah perlak, kemudian mereka
menyebut pelabuhan yang mereka singgahi dengan sebutan bandar perlak. Negeri
perlak adalah salah satu negeri tertua di sumatera yang terletak di antara
samudra (pasei) dan aru.[2]
Sebelum Kesultanan Perlak berdiri, di
wilayah Perlak sebenarnya sudah berdiri sebuah sistem pemerintahan bernama
Negeri Perlak yang raja dan rakyatnya merupakan keturunan dari Maharaja Pho He
La (Meurah Perlak Syahir Nuwi) serta keturunan dari pasukan-pasukan
pengikutnya. Pada tahun 173 H (800 M) tibalah sebuah kapal saudagar Islam yang
membawa rombongan berjumlah sekitar 100 orang dari Timur Tengah, Teluk Kambey
(Gujaraat). Mereka
dipimpin oleh Nakhoda Khalifah yang beraliran Syiah. Awalnya, rombongan ini
berniat untuk berdagang sekaligus berdakwah untuk menyebarkan Islam ke Perlak. Dalam waktu
kurang dari setengah abad, para dai berhasil melakukan misinya tersebut. Raja
dan rakyat Perlak meninggalkan agama lama mereka (Hindu dan Buddha), yang
kemudian secara sukarela berbondong-bondong memeluk Islam. Melihat peluang tersebut,
dengan ditambah melimpahnya bahan perniagaan, mereka pun berinisiatif untuk
mendirikan sebuah kerajaan. Perlak menjadi pelabuhan
yang maju dan aman di abad ke VIII M. Menjadi tempat persinggahan kapal-kapal
perniagaan arab/parsi muslimin, dan dengan demikian maka berkembanglah
masyarakat islam di daerah ini, terutama dari sebab perkawinan antara
saudagar-saudagar muslimin itu dengan permpuan-perempuan anak negeri, yang
mengakibatkan lahirnya keturunan muslimin dari percampuran darah arab/parsi
dengan putri-putri perlak, hal ini membawa kepada berdirinya kerajaan perlak
pertama, yaitu pada hari selasa bulan muharram tahun 225 H / 840 M. Dan
sultannya yang pertama ialah syed maulana abdul azis shah, dengan gelar sultan
alaiddin syed maulana abdul azis shah.[3] Sultan
kemudian mengubah ibukota kerajaan, yang semula bernama Bandar Perlak menjadi
Bandar Khalifah, sebagai penghargaan atas Nakhoda Khalifah.
Banyak pendapat menyatakan bahwa Kerajaan Islam
pertama di Indonesia adalah Samudra Pasai. Informasi ini pun terlanjur meluas ke seantero Nusantara, dan bahkan
diajarkan di berbagai tingkat pendidikan sebagai bukti sejarah yang diajarkan
secara turun temurun. Namun,
fakta baru menyebutkan bahwa Perlak lebih dulu didirikan ketimbang Samudera
Pasai. Kerajaan Perlak muncul mulai tahun 1 Muharam 225 H atau 840 M sampai
tahun 1292 M. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya bukti peninggalan sejarah
berupa mata uang Perlak, stempel kerajaan dan makam Raja Benoa. Bandingkan dengan
kerajaan Samudera Pasai yang didirikan pada tahun 1205 M, dan berakhir pada
tahun 1521 M. Kedua kerajaan Islam yang sama-sama mengambil lokasi di Aceh ini
berbeda jauh dari segi masa muncul dan berlangsungnya.
Sejarawan
Nusantara, Slamet Muljana dalam bukunya Runtuhnya
Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara, mengatakan, “Islam yang sampai di Asia
Tenggara paling dahulu ialah Perlak.” Begitu pun dengan A. Hasjmy dalam Syi’ah dan
Ahlussunnah, yang menulis, “Kerajaan Islam yang pertama berdiri di
Indonesia yaitu Perlak.[4]
2.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam
di Jawa, kalimantan, maluku dan
sulawesi.
A.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan islam di jawa.
a.
Demak
perkembangan Islam di Jawa bersamaan dengan
waktunya dengan melemahnya posisi Raja Majapahit. Hal itu memberi peluang
kepada penguasa-penguasa Islam di pesisir untuk membangun pusat-pusat kekuasaan
yang independen. Di bawah pimpinan Sunan Ampel Denta, Walisongo bersepakat
mengangkat Raden Patah menjadi raja pertama kerajaan Demak, kerajaan Islam
pertama di Jawa, dengan gelar Senopati Jimbun Ngabdurrahman Panembahan
Palembang Sayyidin Panatagama. Raden Patah dalam menjalankan pemerintahannya,
terutama dalam persoalan-persoalan agama, dibantu oleh para ulama, Walisongo.
Sebelumnya, Demak yang masih bernama Bintoro merupakan daerah vasal Majapahit
yang diberikan Raja Majapahit kepada Raden Patah. Daerah ini lambat laun
menjadi pusat perkembangan agama Islam yang diselenggarakan oleh para wali.
Pemerintahan Raden Patah berlangsung
kira-kira di akhir abad ke-15 hingga awal abad ke-16. Dikatakan, ia adalah
seorang anak Raja Majapahit dari seorang ibu Muslim keturunan Campa. Raden Patah memiliki adik laki-laki seibu, tapi
beda ayah. Saat memasuki usia belasan tahun, raden patah bersama adiknya
berlayar ke Jawa untuk belajar di Ampel Denta. Raden
patah mendalami agama Islam bersama pemuda-pemuda lainnya, seperti raden Paku
(Sunan Giri), Makhdum ibrahim (Sunan Bonang), dan Raden Kosim (Sunan Drajat).
Setelah dianggap lulus, raden patah dipercaya menjadi ulama dan membuat
permukiman di Bintara. Ia diiringi oleh Sultan Palembang, Arya Dilah 200
tentaranya. Raden patah memusatkan kegiatannya di Bintara, karena daerah
tersebut direncanakan oleh Walisongo sebagai pusat kerajaan Islam di Jawa.
Kemudian, setelah itu beliau digantikan oleh
anaknya, Pangeran Sabrang Lor atau juga terkenal dengan nama Pati Unus. Menurut
Tome Pires, Pati Unus baru berumur 17 tahun ketika menggantikan ayahnya sekitar
tahun 1507. Menurutnya, tidak lama setelah naik tahta, ia merencanakan suatu
serangan terhadap Malaka. Semangat perangnya semakin memuncak ketika Malaka
ditakhlukkan oleh Portugis pada tahun 1511. Akan tetapi, sekitar pergantian
tahun 1512-1513, tentaranya mengalami kekalahan besar.[5]
Pati Unus digantikan oleh Trenggono yang
dilantik sebagai Sultan oleh Sunan Gunung Jati dengan gelar Sultan Ahmad Abdul
‘Arifin. Ia memerintah pada tahun 1524-1526. Pada masa Sultan Demak yang ketiga
inilah Islam dikembangkan ke seluruh tanah Jawa, bahkan sampai ke Kalimantan
Selatan. Penakhlukan Sunda Kelapa berakhir tahun 1527 yang dilakukan oleh
pasukan gabungan Demak Cirebon di bawah pimpinan Fadhilah Khan. Majapahit dan
Tuban jatuh ke bawah kekuasaan Kerajaan Demak pada tahun itu juga. Selanjutnya,
pada tahun 1529, Demak berhasil menundukkan Madiun, Blora (1530), Surabaya
(1531), Pasuruan (1535), dan antara tahun 1541-1542 Lamongan, Blitar, Wirasaba,
dan Kediri (1544). Palembang dan Banjarmasin mengakui kekuasaan Demak.
Sementara daerah Jawa Tengah bagian Selatan sekitar Gunung Merapi, Pengging,
dan Pajang berhasil dikuasai berkat pemuka Islam, Syeikh Siti Jenar dan Sunan
Tembayat.
Pada tahun 1546, dalam penyerbuan ke
Blambangan, Sultan Trenggono terbunuh. Ia digantikan adiknya, Prawoto. Masa
pemerintahannya tidak berlangsung lama karena terjadi pemberontakan oleh
adipati-adipati sekitar kerajaan Demak. Sunan Prawoto sendiri kemudian dibunuh
oleh Arya Penangsang dari Jipang pada tahun 1549. Dengan demikian, kerajaan
Demak berakhir dan dilanjutkan oleh kerajaan Pajang di bawah Jaka Tingkir yang
berhasil membunuh Arya Penangsang.[6]
Di antara ketiga raja
Demak, Sultan Trenggana lah yang berhasil menghantarkan Kusultanan Demak ke
masa jayanya. Pada masa Trenggana, daerah kekuasaan Demak meliputi seluruh Jawa
serta sebagian besar pulau-pulau lainnya.
Cepatnya kota Demak
berkembang menjadi pusat perniagaan dan lalu lintas serta pusat kegiatan
pengislaman tidak lepas dari andil masjid Agung Demak. Dari sinilah para wali
dan raja dari Kesultanan Demak mengadakan perluasan kekuasaan yang dibarengi
oleh kegiatan dakwah Islam ke seluruh Jawa.
b.
Pajang
Kesultanan Pajang adalah pelanjut dan dipandang
sebagai pewaris kerajaan Islam Demak. Sultan atau raja pertama kesultanan ini
adalah Jaka Tingkir yang berasal dari Pengging, di lereng Gunung Merapi. Oleh
Raja Demak ketiga, Sultan Trenggono, Jaka Tingkir diangkat menjadi penguasa di
Pajang, setelah sebelumnya dikawinkan dengan anak perempuannya. Kediaman
penguasa Pajang itu, menurut Babad dibangun dengan mencontoh kraton Demak.
Pada tahun 1546, Sultan Demak meninggal dunia.
Setelah itu, muncul kekacauan di ibu kota. Konon, Jaka Tingkir yang telah
menjadi penguasa Pajang itu dengan segera mengambil alih kekuasaan karena anak
sulung Sultan Trenggono yang menjadi pewaris tahta kesultanan, susuhunan
Prawoto, dibunuh oleh kemenakannya, Arya Penangsang yang waktu itu menjadi
penguasa dari Jipang (Bojonegoro sekarang). Arya Penangsang tidak lama kemdian
dikalahkan dan dibunuh dalam perang tanding oleh Jaka Tingkir dari Pajang.[7] Setelah
menjadi raja yang paling berpengaruh di pulau Jawa, ia bergelar Sultan
Adiwijaya. Jaka Tingkir bergelar Sultan Adiwijaya (1568 – 1582). Gelar itu
disahkan oleh sunan Giri, dan segera mendapat pengakuan dari para adipati di
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sebagai langkah pertama peneguhan kekuasaan,
Adiwijaya memerintahkan agar semua benda pusaka Demak dipindahkan ke Pajang.
Setelah itu, ia menjadi salah satu raja yang paling berpengaruh di Jawa.
Pada masanya sejarah Islam di Jawa mulai dalam
bentuk baru, titik politik pindah dari pesisir ke pedalaman. Peralihan pusat
politik itu membawa akibat yang sangat besar dalam perkembangan peradaban Islam
di Jawa.
Sultan Adiwijaya memperluas kekuasaannya di
tanah pedalaman ke arah Timur sampai daerah Madiun, di alirkan anak sungai Bengawan
Solo yang terbesar. Setelah itu, secara berturut-turut ia dapat menundukkan
Blora (1554) dan Kediri(1577). Pada tahun 1581, ia berhasil mendapatkan
pengakuan sebagai Sultan Islam dari raja-raja terpenting di Jawa Timur. Pada
umumnya hubungan antara keraton Pajang dan raja-raja Jawa Timur memang
bersahabat.
Selama pemerintahan Sultan Adiwijaya,
kesusastraan dan kesenian keraton yang sudah maju di Demak dan Jepara lambat
laun dikenal di pedalaman Jawa. Pengaruh agama Islam yang kuat di pesisir
menjalar dan tersebar ke daerah pedalaman.
Sultan Pajang meninggal dunia tahun 1587 dan
dimakamkan di Butuh, suatu daerah di sebelah barat taman kerajaan Pajang. Dia
digantikan oleh menantunya, Aria Pangiri, anak susuhunan Prawoto. Waktu itu,
Aria Pangiri menjadi penguasa di Demak. Setelah menetap di keraton Pajang, Aria
Pangiri dikelilingi oleh pejabat-pejabat yang dibawanya dari Demak. Sementara
itu, anak Sultan Adiwijaya, Pangeran Benawa dijadikan penguasa di Jipang.
Pangeran muda ini, karena tidak puas dengan
nasibnya di tengah-tengah lingkungan yang masih asing baginya, meminta bantuan
kepada Senopati penguasa Mataram untuk mengusir raja Pajang yang baru itu. Pada
tahun 1588, usahanya itu berhasil. Sebagai rasa terima kasih, Pangeran Benawa
menyerahkan hak atas warisan ayahnya kepada Senopati. Akan tetapi, Senopati
menyatakan keinginannya untuk tetap tinggal di Mataram dan ia hanya minta
‘’pusaka kerajaan’’ Pajang. Mataram ketika itu memang sedang dalam proses
menjadi sebuah kerajaan besar. Pangeran Benawa kemudian dikukuhkan sebagai raja
Pajang, akan tetapi berada di bawah perlindungan kerajaan Mataram. Sejak itu,
Pajang sepenuhnya menjadi berada di bawah kekuasaan Mataram.
Riwayat
kerajaan Pajang berakhir tahun 1618. Kerajaan Pajang waktu itu memberontak terhadap
Mataram yang ketika itu dipimpin oleh Sultan Agung. Pajang dihancurkan, rajanya
melarikan diri ke Giri dan Surabaya.[8]
Berakhirnya Kesutanan Pajang, menurut cerita
turur Mataram yang bersifat sejarah, Sultan Pajang meninggal di taman
kerajaanya, karena sakit, kecelakaan, atau karena tindakan seorang juru taman
(tukang kebun) tidak dikenal yang ingin berjasa kepada Senapati Mataram.
Meninggalnya Raja tua itu harus kita tempatkan pada 1587. Ia dimakamkan di
Butuh, tidak jauh di sebelah barat taman Kerajaan Pajang, yang masih lama
kemudian tetap dikenal sebagai Makam Aji. Butuh adalah kekuasaan salah seorang
dari empat penguasa yang menurut cerita tutur berkumpul di Pengging tepat pada
malam kelahiran bayi yang kelak akan menjadi sunan Pajang, yaitu Jaka Tingkir.
Yang menjadi ahli waris Sultan Pajang ialah tiga putra menantu, yakni raja
Tuban, raja Demak, dan raja di Aros Baya, disamping putranya sendiri, Pangeran
Benawa, yang konon masih sangat muda waktu ayhnya meninggal. Menurut Babad,
Sunan Kudus menggunakan wibawa kerohaniannya agar yang diakui oleh
keraton Pajang sebagai raja baru itu bukan anak sultan, melainkan Raja Demak,
Raja Demak itu adalah Aria Pangiri anak (atau mungkin lebih tepat kemenakan)
Susuhunan Prawata yang terbunuh, dan cucu Sultan Trenggana yang putrinya kawin
dengan Sultan Pajang yang baru meninggal itu. Jadi Aria Pangiri (Kediri) dari
Demak ini, selain menantu, juga kemenakan (dari pihak ibu) Sultan Adiwijaya.
Pada 1587 ia sudah agak tua. Mungkin yang menjadi maksud ulam dari Kudus itu
ialah mengembalikan kekuasaan di kesultanan Jawa Tengah kepada seorang
keturunan langsung Sultan Trenggana dari Demak, yang sudah meninggal kira-kira
40 tahun sebelumnya.[9]
Menurut cerita tutur Mataram, raja kedua di
Pajang itu benar tinggal di Istana kerajaan, tetapi dikelilingi oleh para
pejabat istana yang dibawa serta dari Demak. Anugerah dan tanah yang
dibagi-bagikan kepada “orang-orang asing” dari pesisir membangkitkan rasa tidak
puas dan iri hati para bangsawan dan tuan tanah asal pedalaman Pajang sendiri.
Pangeran Benawa, putra almarhum sultan pertama, ahli waris pertama, dijadikan
raja Jipang atas anjuran sunan Kudus. Di sana Aria Panangsang kira-kira 40
tahun sebelumnya dikalahkan oleh ayah Benawa (Waktu itu masih belum menjadi
sultan Pajang). Pangeran muda ini, karena merasa tidak puas dengan nasibnya di
lingkungan yang asing baginya, merencanakan persekutuan jahat dengan Senapati
Mataram dan orang di Pajang yang tidak puas, mengusir raja baru yang asing itu.
Usaha ini berhasil, sesudah terjadi pertempuran singkat pada 1588, Nyawa Raja
Demak masih dapat ditolong berkat permintan belas kasihan istrinya, seorang
putri Pajang. Ia diikat dengan cinde (sabuk)nsutera dan dikembalikan ke Demak.
Kekalahnay dalam pertempuran melawan Senapati Mataram dan Pangeran Benawa
menurut babad disebabkan oleh berbaliknya orang Pajang yang tidak puas ke pihak
Mataram. Disamping itu prajurit sewaan yang ikut serta dari Demak ternyata
tidak dapat dipercaya. Laskar sewaan itu terdiri dari budak belian, orang Bali,
Bugis, Makassar, dan golongan “Peranakan” yitu orang Cina yang berdarah
campuran. Dari pemberitaan tentang adanya prajurit sewaan dalam tentara Raja
Demak dapat disimpulkan bahwa pada perempat terakhir abad XVI di daerah pesisir
kehidupan ekonomi yang menggunakan uang sebgai bahan tukar sudah lazim, berbeda
dengan hubungan sosial di daerah pedalaman Pajang dan Mataram.[10]
c.
Mataram
Awal dari kerajaan Mataram adalah ketika Sultan
Adiwijaya dari Pajang meminta bantuan kepada Ki Pamanahan yang berasal dari
daerah pedalaman untuk menghadapi dan menumpas pemberontakan Arya Penangsang
tersebut. Sebagai hadiahnya, sultan kemudian menghadiahkan daerah Mataram
kepada Ki Pamanahan.
Pada tahun 1577 M, Ki Pamanahan menempati
istana barunya di Mataram. Dia digantikan oleh putranya, Senopati tahun 1584
dan dikukuhkan oleh Sultan Pajang. Senopatilah yang dipandang sebagai Sultan
Mataram pertama, setelah Pangeran Benawa, anak Sultan Adiwijaya, menawarkan
kekuasaan atas pajang kepada Senopati. Meskupun Senopati menolak dan hanya meminta
pusaka kerajaan, namun dalam tradisi Jawa, penyerahan benda-benda pusaka itu
sama artinya dengan penyerahan kekuasaan.
Senopati kemudian berkeinginan menguasai juga
semua raja bawahan Pajang, tetapi ia tidak mendapat pengakuan dari para
penguasa Jawa Timur sebagai pengganti Raja Demak dan kemudian Pajang. Melalui
perjuangan berat, peperangan demi peperangan, barulah ia berhasil menguasai
sebagian.
Senopati meninggal dunia tahun 1601 M, dan
digantikan oleh putranya Seda Ing Krapyak diganti oleh putranya Sultan Agung
yang melanjutkan usaha ayahnya. Pada tahun 1619, seluruh Jawa Timur praktis
sudah berada di bawah kekuasaannya. Dimasa pemerintahan Sultan Agung inilah
kontak-kontak bersenjata antara kerajaan Mataram dengan VOC mulai terjadi. Pada
tahun 1630 M, Sultan Agung menetapkan Amangkurat I sebagai putra mahkota.
Sultan Agung wafat pada tahun 1646 M, kurang setahun beliau wafat di pendapa.
Karena Dewi Lautan Selatan dua tahunsebelumnya meramalkan saat kematiannya,
Raja menolak minum obat (serat Kandha, hlm. 923 dan 926)[11].
Dan dimakamkan di Imogiri. Ia digantikan oleh putra mahkota.
Amangkurat I memindahkan lokasi keraton ke
Pleret (1647), tidak jauh dari Kerta. Selain itu, ia tidak lagi menggunakan
gelar sultan, melainkan “sunan” (dari “Susuhunan” atau “Yang Dipertuan”).
Pemerintahan Amangkurat I kurang stabil karena banyak ketidakpuasan dan
pemberontakan. Pada masanya, terjadi pemberontakan besar yang dipimpin oleh
Trunajaya dan memaksa Amangkurat bersekutu dengan VOC. Ia wafat di Tegalarum
(1677) ketika mengungsi sehingga dijuluki Sunan Tegalarum.
Setelah itu, ia digantikan oleh Amangkurat II.
Amangkurat II memerintah Mataram dari tahun 1677-1703 M. di bawah
pemerintahannya, wilayah kekuasaan Kerajaan Matarm semakin sempit. Sebagian
daerah-daerah kekuasaan diambil alih Belanda. Amangkurat II yang tidak
tertarik untuk tinggal di ibukota Kerajaan, selanjutnya mendirikan Ibu Kota
baru di desa Wonokerto yang diberi nama Karta Surya. Di Ibu Kota inilah
Amangkurat II menjalankan pemerintahannya terhadap sisa-sisa kerajaan Mataram,
hingga akhirnya meninggal tahun 1703 M.Pengganti Amangkurat II berturut-turut
adalah Amangkurat III (1703-1708), Pakubuwana I (1704-1719), Amangkurat IV
(1719-1726), Pakubuwana II (1726-1749). VOC tidak menyukai Amangkurat III karena
menentang VOC sehingga VOC mengangkat Pakubuwana I (Puger) sebagai raja.
Akibatnya Mataram memiliki dua raja dan ini menyebabkan perpecahan internal.
Amangkurat III memberontak dan menjadi “king in exile” hingga tertangkap di
Batavia lalu dibuang ke Ceylon.
Kekacauan politik baru dapat diselesaikan
pada masa Pakubuwana III setelah pembagian wilayah Mataram menjadi dua yaitu
Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunanan Surakarta tanggal 13 Februari 1755.
Pembagian wilayah ini tertuang dalam Perjanjian Giyanti (nama diambil dari
lokasi penandatanganan, di sebelah timur kota Karanganyar Jawa Tengah).
Berakhirlah era Mataram sebagai satu kesatuan politik dan wilayah. Walaupun
demikian sebagian masyarakat Jawa beranggapan bahwa Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta adalah “ahli waris” dari Kesultanan Mataram.
d.
Cirebon
Kesultanan
Cirebon adalah kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Kerajaan ini didirikan
oleh Sunan Gunung Jati.
Di awal
abad ke-16, Cirebon masih meruppakan sebuah daerah kecil di bawah kekuasaan
Pakuan Pajajaran. Raja Pajajaran hanya menempatkan seorang juru labuhan di
sana, bernama Pangeran Walangsungsang, seorang tokoh yang mempunyai hubungan
darah dengan raja Pajajaran. Ketika berhasil memajukan Cirebon, ia sudah
menganut agama Islam. Disebutkan oleh Tome Pires, Islam sudah ada di Cirebon
sekitar 1470-1475 M. Akan tetapi, orang yang berhasil meningkatkan status
Cirebon menjadi sebuah kerajaan adalah Syarif Hidayatullah yang terkenal dengan
gelar Sunan Gunung Jati, pengganti dan keponakan dari Pangeran Walangsungsang.
Ialah pendiri dinasti raja-raja Cirebon dan kemudian juga Banten. Sebagai
keponakan dari Pangeran Walangsungsang, Sunan Gunung Jati juga mempunyai
hubungan darah dengan raja Pajajaran. Raja yang dimaksud adalah Prabu
Siliwangi, raja Sunda yang berkedudukan di Pakuan Pajajaran, yang nikah dengan
Nyai Subang Larang tahun 1422. Dari perkawinan itu lahirlah 3 orang putra,
yaitu Raden Walangsungsang, Nyai Lara Santang, dan Raja Senggara. Sunan Gunung
Jati adalah putra Nyai Lara Santang dari perkawinannya dengan Maulana Sultan
Mahmud alias Syarif Abdullah dari Bani Hasyim, ketika Nyai itu naik haji.
Disebutkan, Sunan Gunung Jati lahir tahun 1448 M dan wafat pada 1568 M dalam
usia 120 tahun. Karena kedudukannya sebagai salah seorang Walisongo, ia
mendapat penghormatan dari raja-raja lain di Jawa, seperti Demak dan Pajang.
Setelah Cirebon resmi berdiri sebagai sebuah kerajaan Islam yang bebas dari
kekuasaan Pajajaran, Sunan Gunung Jati berusaha meruntuhkan kerajaan Pajajaran
yang masih belum menganut Islam.[12]
Dari
Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke daerah-daerah lain di Jawa
Barat seperti Majalengka, Kuningan, Kawali (Galuh), Sunda Kelapa, dan Banten.
Dasar bagi pengembangan Islam dan perdagangan kaum muslim di Banten diletakkan
oleh Sunan Gunung Jati tahun 1524 M.[13] Ketika
ia kembali ke Cirebon, Banten diserahkan kepada anaknya Sultan Hasanuddin.
Sultan inilah yang menurunkan raja-raja Banten. Di tangan raja-raja Banten
tersebut, akhirnya kerajaan Pajajaran akhirnya dikalahkan. Atas prakarsa Sunan
Gunung Jati juga penyerangan ke Sunda Kelapa dilakukan (1527 M). Penyerangan
ini dipimpin oleh Falatehan dengan bantuan tentara Demak.
Setelah Sunan Gunung Jati wafat, ia digantikan
oleh cicitnya yang terkenal dengan gelar Pangeran Ratu atau Panembahan Ratu
setelah itu diganti oleh putranya, Panembahan Girilaya.
Keutuhan Cirebon sebagai suatu kerajaan hanya
sampai Pangeran Girilaya itu. Sepeninggalnya, sesuai dengan kehendaknya
sendiri, Cirebon diperintah oleh dua putranya, Martawijaya atau Panembahan
Sepuhdan Kartawijaya atau Panembahan Anom. Panembahan Sepuh memimpin kesultanan
Kasepuhar sebagai rajanya yang pertama dengan gelar Samsuddin, sementara
PanembahanAnom memimpin kesultanan Kanoman dengan gelar Badruddin.
e.
Banten
Sejak sebelum zaman Islam, Banten sudah menjadi kota yang
berarti. Dalam
tulisan Sunda Kuno, cerita Parahyangan, disebut-sebut nama Wahanten Girang.
Nama ini dapat dihubungkan dengan Banten, sebuah kota pelabuhan di ujung barat
pantai utara Jawa. Pada tahun 1524 atau 1525, Sunan Gunung Jati dari Cirebon,
meletakkan dasar bagi pengembangan agama dan kerajaan Islam serta bagi
perdagangan orang-orang Islam disana.
Penguasa
Pajajaran di Banten menerima Sunan Gunung Jati dengan ramah tamah dan tertarik
masuk Islam. Ia meratakan jalan bagi kegiatan pengislaman disana. Untuk menyebarkan Islam di Jawa Barat, langkah
Sunan Gunung Jati berikutnya adalah menduduki pelabuhan Sunda, kira-kira tahun
1527. Ia memperluas kekuasaannya atas kota-kota pelabuhan Jawa Barat lain yang
semula termasuk Pajajaran.
Setelah
ia kembali ke Cirebon, kekuasaannya atas Banten diserahkan kepada putranya,
Hasanuddin. Hasanuddin sendiri kawin dengan putri Demak dan diresmikan menjadi
Panembahan Banten tahun 1552. Ia meneruskan usaha ayahnya dalam meluaskan
daerah Islam, yaitu ke Lampung dan sekitarnya di Sumatera Selatan.
Pada
tahun 1568, disaat kekuasaan Demak beralih ke Pajang, Hasanuddin memerdekakan
Banten. Itulah sebabnya oleh tradisi ia dianggap sebagai raja Islam yang
pertama di Banten. Banten sejak semula memang merupakan vassal dari Demak.
Hasanuddin mangkat kira-kira tahun 1570 dan digantikan oleh anaknya, Yusuf.
Setelah sembilan tahun memegang tampuk kekuasaan, tahun 1579, Yusuf
menakhlukkan Pakuan yang belum Islam yang waktu itu masih menguasai sebagian
besar daerah pedalaman di Jawa Barat. Sesudah ibu kota kerajaan itu jatuh dan raja
beserta keluarganya menghilang, golongan bangsawan Sunda masuk Islam. Mereka
diperbolehkan tetap menyandang pangkat dan gelarnya.
Setelah
Yusuf meninggal dunia tahun 1580 M, ia digantikan oleh putranya Muhammad, yang
masih muda. Selama Sultan Muhammad masih di bawah umur, kekuasaan
pemerintahan dipegang oleh kali (Arab: qadhi, jaksa agung) bersama empat
pembesar lainnya. Raja Banten yang shaleh ini, melanjutkan serangan terhadap
raja Palembang dan gugur dalam usia 25 tahun pada 1596. Ia meninggalkan seorang
anak yang berusia 5 bulan, Sultan Abdul Mafakhir Mahmud Abdulkadir.
Sebelum
memegang pemerintahan secara langsung, Sultan berturut-turut berada di bawah 4
orang wali laki-laki dan seorang wali wanita. Ia baru aktif memegang kekuasaan
tahun 1626, dan pada tahun 1638 mendapat gelar sultan dari Makkah. Dialah raja
Banten pertama dengan gelar sultan yang sebenarnya. Ia meninggal tahun 1651 dan
digantikan oleh cucunya Sultan Abulfath Abdulfath.[14]
B.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan islam di kalimantan
Kalimantan terlalu luas untuk berada di bawah
satu kekuasan pada waktu datangnya Islam. Daerah barat laut menerima Islam dari
malaya, daerah timur dari makasar dan wilayah selatan dari Jawa.
1.
Kerajaan Banjar di Kalimantan Selatan.
Kerajaan banjar merupakan kelanjutan dari
Kerajaan Daha yang beragama Hindu. Peristiwanya dimulai ketika terjadi
pertentangan dalam keluarga istana, antara pangeran Samudera sebagai pewaris
sah kerajaan Daha, dengan pamannya Pangeran Tumenggung. Seperti dikisahkan
dalam Hikayat Banjar,[15] ketika
Raja Sukarama merasa sudah hampir tiba ajalnya, ia berwasiat, agar yang
mengantikannya nanti adalah cucunya Raden Samudera. Tentu saja keempat orang
puteranya tidak menerima sikap ayahnya itu, lebih-lebih Pangeran Tumanggung
yang sangat berambisi. Setelah Sukarama wafat, jabatan raja dipegang oleh anak
tertua, Pangeran Mangkubumi. Waktu itu, Pangeran Samudera baru berumur 7 tahun.
Pangeran Mangkubumi tidak terlalu lama berkuasa. Ia terbunuh oleh seorang
pegawai istana yang berhasil dihasut Pangeran Tumanggung. Dengan meninggalnya
Pangeran Mangkubumi, maka Pangeran Tumanggunglah yang tampil menjadi raja Daha.
Setelah
kejadian itu
Pangeran Samudera berkelana ke wilayah muara. Ia kemudian diasuh oleh seorang
patih, bernama Patih Masih. Atas bantuan patih masih
Pangeran Samudera dapat menghimpun kekuatan perlawanan. Dalam serangan
pertamanya Pangeran Samudera berhasil menguasai Muara Bahan, sebuah pelabuhan
strategis yang sering dikunjungi para pedagang luar, seperti dari pesisir utara
Jawa, Gujarat, dan Malaka.
Dalam peperangan itu, Pangeran Samudera
memperoleh kemenangan, dan sesuai dengan janjinya, ia beserta seluruh kerabat
kraton dan penduduk Banjar menyatakan diri masuk Islam. Pangeran Samudera
sendiri, setelah masuk Islam, diberi nama Sultan Suryanullah atau Suriansyah,
yang dinobatkan sebagai raja pertama dalam kerajaan Islam Banjar.
Ketika
Suryanullah naik tahta, beberapa daerah sekitarnya sudah mengakui kekuasaannya,
yakni daerah Sambas, Batanglawai, Sukadana, Kotawaringin, Sampit, Medawi, dan
Sambangan. Sultan
Suryanullah diganti oleh putera tertuanya yang bergelar Sultan Rahmatullah.
Raja-raja banjar berikutnya adalah Sultan Hidayatullah ( putera Sultan
Rahmatullah ) dan Marhum Panembahan yang dikenal dengan Musta’inullah. Pada
masa Marhum Panembahan, ibu kota kerajaan dipindahkan beberapa kali. Pertama ke
Amuntai, kemudian ke Tambangan dan Batang Banju, dan akhirnya ke Amuntai
kembali. Perpindahan ibu kota kerajaan itu terjadi akibat datangnya pihak
Belanda ke Banjar dan menimbulkan huru-hara.
2. kerajaan Kutai
di Kalimantan Timur.
Penyebar Islam tiba di Kutai pada masa
pemerintahan Raja Mahkota. Salah seorang di antaranya adalah Tuan di bandang,
yang dikenal dengan Dato’Ri Bandang dari Makassar, kemudian yang
lainnya adalah Tuan Tunggang Parangan. Setelah pengislaman itu, Dato’Ri Bandang
kembali ke Makassar sementara Tuan Tunggang Parangan tetap di Kutai. Melalui
yang terakhir inilah Raja Mahkota tunduk kepada keimanan Islam. Setelah itu,
segera dibangun sebuah mesjid dan pengajaran agama dapat dimulai. Yang pertama
sekali mengikuti pengajaran itu adalah Raja Mahkota Sendiri, kemudian pangeran,
para menteri, panglima dan hulubalang, dan akhirnya rakyat biasa. Proses Islamisasi di Kutai dan daerah sekitarnya diperkirakan
terjadi pada tahun 1575. penyebaran lebih jauh ke daerah-daerah pedalaman
dilakukan terutama pada waktu puteranya, Aji di Langgar, dan
pengganti-penggantinya, meneruskan perang ke daerah Muara Kaman.[16]
C. Tumbuh dan berkembangnya
kerajaan islam di sulawesi
Kerajaan
yang bercorak Islam di Semenanjung Selatan Sulawesi adalah Goa-Tallo, kerajaan
ini menerima Islam pada tahun 1605 M. Rajanya yang terkenal dengan nama
Tumaparisi-Kallona yang berkuasa pada akhir abad ke-15 dan permulaan abad
ke-16. Kerajaan Goa-Tallo menjalin hubungan dengan
Ternate yang telah menerima Islam dari Gresik/Giri. Penguasa Ternate mengajak
penguasa Goa-tallo untuk masuk agama Islam, namun gagal. Islam baru berhasil
masuk di Goa-Tallo pada waktu datuk ri Bandang datang ke kerajaan Goa-Tallo.
Sultan Alauddin adalah raja pertama yang memeluk agama Islam tahun 1605 M.
Kerajaan
Goa-Tallo mengadakan ekspansi ke Bone tahun 1611, namun ekspansi itu
menimbulkan permusuhan antara Goa dan Bone. Penyebaran Islam yang dilakukan
oleh Goa-Tallo berhasil, hal ini merupakan tradisi yang mengharuskan seorang
raja untuk menyampaikan hal baik kepada yang lain. Seperti Luwu, Wajo, Sopeng,
dan Bone. Luwu terlebih dahulu masuk Islam, sedangkan Wajo dan Bone harus
melalui peperangan dulu. Raja Bone yang pertama masuk Islam adalah yang dikenal
Sultan Adam.
D.
Tumbuh dan berkembangnya kerajaan islam Maluku
Kedatangan
Islam ke indonesia bagian Timur yaitu ke Maluku, tidak
dapat dipisahkan dari jalan perdagangan yang terbentang antara pusat lalu
lintas pelayaran Internasional di Malaka, Jawa dan Maluku. Diceritakan bahwa
pada abad ke-14 Raja ternate yang keduabelas, Molomateya, (1350-1357)
bersahabat baik dengan orang Arab yang memberikan petunjuk bagaimana pembuatan
kapal-kapal, tetapi agaknya bukan dalam kepercayaan. Manurut tradisi setempat,
sejak abad ke-14 Islam sudah datang di
daerah Maluku. Pengislaman di daerah Maluku, di bawa oleh maulana Husayn. Hal
ini terjadi pada masa pemerintahan Marhum di Ternate.
Raja pertama yang benar-benar muslim adalah
Zayn Al- Abidin (1486-1500), Ia sendiri mendapat ajaran agama tersebut dari
madrasah Giri. Zainal Abidin ketika di Jawa terkenal sebagai Raja Bulawa,
artinya raja cengkeh. Sekembalinya dari jawa, Zainal abidin membawa mubaligh
yang bernama Tuhubabahul.
Di
Banda, Hitu, Maluku dan Bacan sudah terdapat masyarakat Muslim. Di daerah
Maluku raja yang mula-mula masuk Islam sebagaimana dijelaskan Tome Pires sejak tahun 1460-1465. Karena usia Islam masih muda di Ternate,
Portugis yang sampai di sana tahun 1522 M, berharap dapat menggantikannya
dengan agama Kristen. Harapan itu tidak terwujud. Usaha mereka hanya
mendatangkan hasil yang sedikit. Dalam proses Islamisasi di Maluku menghadapi
persaingan politik dan monopoli perdagangan diantara orang-orang Portugis,
Spanyol, Belanda dan Inggris. Persaingan diantara pedagang-pedagang ini pula
menyebabkan persaingan diantara kerajaan-kerajaan Islam sendiri sehingga pada
akhirnya daerah Maluku jatuh ke bawah kekuasaan politik dan ekonomi kompeni
Belanda.
3.
Hubungan Politik dan Keagamaan antara
Kerajaan-kerajaan Islam.
Hubungan antara suatu kerajaan Islam dengan kerajaan Islam
lainnya pertama-tama memang terjalin karena persamaan agama. Hubungan itu pada
mulanya, mengambil bentuk kegiatan dakwah, kemudian berlanjut setelah
kerajaan-kerajaan Islam berdiri. Demikianlah misalnya antara Giri dengan
daerah-daerah Islam di Indonesia bagian timur, terutama Maluku. Adalah dalam
rangka penyebaran Islam itu pula Fadhillah Khan dari Pasai datang ke Demak,
untuk memperluas wilayah kekuasaan ke Sunda Kelapa.
Dalam bidang
politik, agama pada mulanya dipergunakan untuk memperkuat diri dalam menghadapi
pihak-pihak atau kerajaan-kerajaan yang bukan Islam, terutama yang mengancam
kehidupan politik maupun ekonomi. Persekutuan
antara Demak dengan Cirebon dalam menaklukkan Banten dan Sunda Kelapa dapat
diambil sebagai contoh. Contoh lainnya adalah persekutuan kerajaan-kerajaan
Islam dalam menghadapi Portugis dan Kompeni Belanda yang berusaha memonopoli
pelayaran dan perdagangan.
Meskipun demikian, kalau kepentingan politik
dan ekonomi antarkerajaan-kerajaan Islam itu sendiri terancam, persamaan agama
tidak menjamin bahwa permusuhan tidak ada. Peperangan di kalangan
kerejaan-kerajaan Islam sendiri sering terjadi. Misalnya, antara, Ternate dan Tidore, Gowa-Tallo dan Bone. Oleh
karena kepentingan yang berbeda di antara kerajaan-kerajaan itu pula, sering
satu kerajaan Islam meminta bantuan kepada pihak lain, terutama Kompeni
Belanda, untuk mengalahkan kerajaan islam yang lain.
Hubungan antarkerajaan-kerajaan Islam lebih
banyak terletak dalam bidang budaya dan keagamaan. Samudera Pasai dan kemudian
Aceh yang dikenal dengan Serambi Mekah menjadi pusat
pendidikan dan pengajaran Islam. Dari sini ajaran-ajaran Islam tersebar ke
seluruh pelosok Nusantara melalui karya-karya ulama dan murid-muridnya yang
menuntut ilmu ke sana.
Demikian pula halnya dengan Giri di Jawa Timur
terhadap daerah-daerah di Indonesia bagian timur. Karya-karya sastera dan
keagamaan dengan segera berkembang di kerajaan-kerajaan Islam. Tema dan isi
karya-karya itu seringkali mirip antara satu dengan yang lain. Kerajaan Islam
itu telah merintis terwujudnya idiologi
kultural yang sama, yaitu Islam. Hal ini menjadi pendorong terjadinya interaksi
budaya yang makin erat. [17]
IV.
KESIMPULAN
Setelah membahas makalah ini yang
begitu panjang, maka dapat diambil kesimpulan bahwasanya kerajaan islam pertama
di sumatera ialah kerajaan perlak. Kerajaan ini di dirikan pada hari selasa bulan muharram tahun 225 H / 840 M. Dan sultannya yang
pertama ialah syed maulana abdul azis shah, dengan gelar sultan alaiddin syed
maulana abdul azis shah.
Dalam tumbuh
dan perkembangnya kerajaan islam di pulau jawa, kalimantan, sulawesi,dan maluku
sangatlah luar biasa, dapat dilihat dari beberapa kerajaan-kerajaan yang ada
pada saat itu, seperti kerajaan demak, pajang, mataram, banten, cirebon,
banjar, kutai, ternate, dan goa tallo.
Mengenai hubungan
antar kerajaan-kerajaan islam di nusantara sudahlah terbentuk, yaitu dalam
bidang ilmu pengetahuan, budaya, agama, dll.
DAFTAR PUSTAKA
Azra, Azumardi, Perspektif Islam di Asia Tenggara, Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia, 1989.
Hasymy A., sejarah masuk dan berkembangnya islam di indonesia, Aceh
: Alma’arif, 1989.
H.J.
Graaf dan TH.G.TH. Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta : Grafiti pers, _____1985.
Yatim,
Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1997.
H.J.
De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta:
Pustaka _____Grafiti pers, 1986.
Syukur,
Fatah, Sejarah Peradaban Islam, Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra.
J.J. Ras, Hikayat Banjar: A. Study in
Malay Histoiography, The Hague Martinus Nijhoff – _____KTLV, 1968.
sasmita, Uka Tjandra, Sejarah Nasional Indonesia
III, Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
[1] Azumardi Azra, Perspektif Islam di Asia
Tenggara, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 1989. Hlm. 3
[2] Prof. A. Hasymy, sejarah masuk
dan berkembangnya islam di indonesia, Aceh : Alma’arif, 1989. Hlm152-153
[3] Prof. A. Hasymy, sejarah masuk
dan berkembangnya islam di indonesia, Aceh : Alma’arif, 1989. Hlm. 195
[5] H.J. Graaf dan TH.G.TH.
Pigeaud, Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa, Jakarta:Grafiti
pers,1985. Hlm
49
[7]
H.J.
De Graff dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003. Hlm. 238
[9] H.J. De Graaf, Puncak
Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka
Grafitipers, 1986. Hlm
301
[10]
H.J.
De Graff dan TH. Pigeaud, Kerajaan Islam Pertama di Jawa, Jakarta:
PT. Pustaka Utama Grafiti, 2003.Hlm 244-245
[11] H.J.
De Graaf, Puncak Kekuasaan Mataram Politik Ekspansi Sultan Agung, Jakarta: Pustaka Grafitipers, 1986. Hlm. 301
[15] J.J. Ras, Hikayat Banjar: A. Study in Malay Histoiography, The
Hague Martinus Nijhoff – KTLV, 1968. _____hlm. 376 – 398.
[17] Dr. Badri yatim M.A, Sejarah Peradaban Islam: Dirasah Islamiyah II, Jakarta
: PT Raja Grafindo, 2002, Hlm. 225.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar